Pojok PanturaPojok Pantura

Kisah Adzab Bagi Hakim yang Hanya Mendengarkan Salah Satu Pihak Saja

 Kisah Adzab Bagi Hakim yang Hanya Mendengarkan Salah Satu Pihak Saja | putusan hakim atau penegak hukum tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun termasuk pemerintah, yang notabene sebagai pengangkat seseorang menjadi hakim | Pojok Pantura

Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Ada satu prinsip dalam hukum Islam bahwa kekhilafan hakim dalam membebaskan lebih baik daripada kekhilafan dalam menjatuhkan hukuman. Tampak jelas dengan melihat prinsip di atas kita tahu agama Islam sangat berhati-hati dalam menghukum seseorang dan Islam juga sangat memperhatikan profesi hakim.

Sesungguhnya otoritas kehakiman dalam suatu negara adalah bersifat merdeka. Itu artinya putusan hakim atau penegak hukum tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun termasuk pemerintah, yang notabene sebagai pengangkat seseorang menjadi hakim atau penegak hukum. Hakim tidak boleh tunduk pada tekanan dan opini public atau salah satu pihak saja ketika mengadili dan memutus suatu perkara.

Maka dari itu, seorang hakim seyogyanya memiliki mental spiritual yang bisa memperteguh hati dan pikirannya agar bertindak adil dan jujur dalam segala situasi. Pasalnya posisi hakim atau penegak hukum sangat krusial dalam pengambilan keputusan. Dalam khazanah fiqih ditegaskan hakim tidak boleh memutus perkara dalam keadaan marah. Seorang yang memegang jabatan hakim harus memiliki karakter yang tegas dan berani menolak godaan dan tekanan dari mana pun untuk menyimpang dari garis keadilan.

Mengingat pentingnya suatu keadilan dan yang bertugas menegakan keadilan salah satunya adalah hakim. Maka al-Qur’an membahasnya di beberapa ayat diantaranya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. – (Q.S An-Nisa: 58)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan untuk menjadi saksi, maka ketahuilah bahwa Allah Mahateliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan. – (Q.S An-Nisa: 135)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. – (Q.S Al-Maidah: 8)

Dalam sejarah ditemukan riwayat Nabi Muhammad memberi amanat kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Rasulullah berpesan kepada Sayidina Ali sebagaimana dinukilkan oleh Iman Al Mawardi dalam kitab yang terkenal Al Ahkaamus-Sulthaniyah sebagai berikut, “Apabila engkau menghadapi dua pihak yang berperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan bagi salah seorangnya sebelum engkau mendengarkan keterangan yang lainnya.”

Ada satu kisah dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani yang berisi tentang siksa seorang peneggak hukum atau hakim yang tidak berlaku adil dengan mendengarkan opini satu pihak saja.

Kisah ketika hakim yang dikenal sangat saleh itu merasakan detik-detik akhir usianya. Sang hakim gundah, terutama soal nasibnya nanti selepas prosesi pemakaman dirinya: akankah kain kafannya selamat dari tindak pencurian sebagaimana banyak kasus yang menimpa tetangganya saat itu? Ia tahu siapa yang biasa melakukannya. Maka dipanggillah tukang nyuri kain mayat tersebut.

“Aku telah menyiapkan sejumlah uang seharga kain kafanku. Ambillah, tapi tolong jangan koyak kuburanku. ” Si pencuri kain kafan mendengarkan dengan baik pesan sang hakim. Ia menyanggupi permintaannya.

Si pencuri ternyata tak sungguh-sungguh memegang janjinya setelah hakim itu meninggal dunia. Di benaknya terlintas godaan mencuri kain kafan sang hakim. Istrinya sempat meredam niat buruknya ini, tapi gagal. Proses penggalian kubur pun berlangsung. Dalam aksi nekatnya inilah tukang curi kain kafan mendapatkan pengalaman ajaib.

Telinganya seperti mendengar suara dua malaikat. Ia seolah dibimbing merekam peristiwa yang tak lazim dapat ditangkap indera itu.

“Ciumlah bau kakinya (hakim), ” ujar malaikat satu kepada yang lain.

“Tidak ada yang aneh. Dia tidak menggunakan kedua kakinya untuk maksiat.”

Penciuman terus berlanjut pada kedua tangan dan mata. Hasilnya sama. Tak ditemukan kejanggalan karena si hakim mampu menjaga tangan dan penglihatannya dari perbuatan haram. Malaikat lalu mulai memeriksa kedua telinga si hakim. Satu telinga masih luput dari masalah, tapi tidak untuk telinga bagian yang lain.

“Apa yang kau temukan?”. tanya mailakat satu kepada yang lain.

“Sebuah bau busuk”, jawabnya.

“Kau tahu bau apa ini? Ini bau perbuatan si hakim yang cenderung mendengarkan satu pihak ketimbang yang lain dalam penyelesaian kasus sengketa dua pihak. Tiup!”

Begitu tiupan dihembuskan, api tiba-tiba memenuhi kuburan. Dan sejak peristiwa itulah pencuri kain kafan mengalami kebutaan.

Syaikh Nawawi al-Bantani tak mencantumkan riwayat secara rinci perihal kisah dramatis ini. Beliau hanya menyebutnya berasal dari cerita sebagian ulama terdahulu. Syaikh Nawawi al-Bantani mengulasnya ketika menjelaskan balasan kehidupan setelah mati.

Cerita di atas setidaknya berpesan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh sikap tidak adil dalam penegakan hukum ataupun permasalahn lain tak hanya menimpa pada orang lain tapi juga diri sendiri. Citra positif di mata orang lain sebagai orang saleh tak akan mampu menghapus resiko dan tanggung jawab akibat kebusukan perilaku yang disembunyikan. Bukankah pengadilan sebenarnya justru terjadi setelah kehidupan di dunia ini?.

Adil merupakan salah satu sifat Tuhan yang diperintahkan kepada manusia agar mengikuti dan membumikannya dalam batas-batas yang mungkin dicapai dengan sifat insaniah. Umat Islam wajib menegakkan keadilan dan menjadi saksi kebenaran karena Allah. Sesuai pesan Al Quran surat Al Maidah ayat 8, berlaku adil-lah karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada takwa. Bahkan diperingatkan, janganlah kebencianmu kepada suatu kaum menghalangimu dari berlaku adil. Para ahli sejarah mencatat pernyataan Khalifah Ali bin Abi Thalib mengenai makna berbuat adil ialah, “memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan mencabut dari seseorang apa yang bukan haknya.”

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.