Pojok PanturaPojok Pantura

Pelajaran Penting dari Abu Bakar As-Shiddiq Tentang Menjaga Lisan

 Pelajaran Penting dari Abu Bakar As-Shiddiq Tentang Menjaga Lisan | Banyak sekali cerita sukses yang dimulai dengan sama-sama menjaga lisan atau mulut secara terus menerus dalam berkomunikasi dan bergaul | Pojok Pantura

Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Melihat media sosial yang kian hari semakin keruh oleh debat kusir dan perselisihan tidak ada ujung membuat kita bingung, malah dibeberapa kesempatan kita tertarik ikut serta untuk berdebat di media social. Dalam berbagai topik pembahasan malah seringkali banyak kita jumpai orang-orang yang berkata kasar, mengujarkan kebencian dan memberikan berita hoax. Hal-hal buruk semacam ini seharusnya kita hindari untuk menjaga persaudaraan agar tidak ada yang tersakiti atas ucapan atau komentar yang kita tulis di social media. Sekurang-kurangnya kita tidak boleh mengomentari hal-hal yang kita tidak tahu persis fakta kejadiannya agar tidak menimbulkan informasi-informasi yang membingungkan dan hoax.

Nabi Muhammad pun mewanti-wanti kepada umat Islam untuk selalu berbicara baik dalam segala kondisi dan bahkan berbicara yang baik ini menjadi salah satu ciri orang yang beriman kepada Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbicara yang baik, atau diam saja.” (HR. Bukhari)

Ketika kita membaca hadis ini lebih panjang dengan menariknya ke belakang, ternyata matan dari rangkaian hadis ini cukup mengherankan. Alih-alih menyuruh kita untuk meningkatkan kadar keimanan dengan terus menerus beribadah dan memanjangkan sajadah, hadis ini menunjukkan ada fakta dan kenyataan lain. Selain ibadah mahdhah di atas sajadah yang harus dibaca sebagai katalis akan kadar keimanan, kita juga dituntut untuk selalu berhubungan baik dengan sesama manusia.

Memang ada beberapa hadist yang menuntut umat Islam untuk selalu berhubungan baik dengan siapapun tanpa terkecuali. Maka jangan sampai kita merasa bercukup diri setelah kita beribadah kepada Allah, lantas kita mengabaikan interaksi social kita kepada masyarakat. Karena itu akan merugikan kita juga, mengingat kedua hal ini (Hablum minallah dan Hablum minannas) harus kita lakukan beriringan bersama-sama selalu. Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan hal ini dalam sabdanya:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يؤذ جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليكرم ضيفه
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia tidak menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”

Hadist tersebut diawali dari dua untaian kalimat “man kaana yu’minu”. Pertama, nabi SAW memerintahkan kita untuk menstop perlakuan yang bisa melukai hati orang lain. “Man kaana yu’minu” kedua mengingatkan kita untuk berlaku baik kepada orang-orang di sekitar kita.

Untaian hadis ini secara jelas juga mengindikasikan bahwa hubungan personal antara seorang hamba dengan Allah tidaklah belumlah cukup untuk mengklaim keimanan kita kepadaNya. Tak dapat seseorang dengan ibadahnya yang tekun, senantiasa melanggengkan shalat berjamaah lima waktu, berpuasa sunnah Senin-Kamis, shalat sunnah tahajud tiap malam, setelah itu mengklaim sebagai hamba yang dikasihiNya sebab amalan-amalan yang diperbuatnya itu. Tidak. Bahkan klaim itu cuma akan dinilai bergurau bahkan berbohong ketika ia mengaacuhkan interaksi sosialnya.

Perlu ketahui bahwa kunci kita dalam interaksi sosial setiap hari ialah mulut kita yang terdiri dari dua bibir dan dua rahang. Banyak sekali cerita sukses yang dimulai dengan sama-sama menjaga lisan atau mulut secara terus menerus dalam berkomunikasi dan bergaul. Tetapi juga betapa banyak pula cerita mengharukan yang bermula dari sama-sama tidak bisa menjaga lisan yang berujung dengan ujaran-ujaran kebencian, ghibah, dan adu domba yang keluar dari mulut kita.

Kita barangkali perlu menelisik cerita di masa silam yang berhubungan dengan perilaku yang menjaga seketat-ketatnya dari dosa-dosa sebab ucapan atau fatwa yang keliru . Kita bisa mendapatkan hikmah dari apa yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh para sahabat Nabi. Seperti salah satunya yakni sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra. Selain sahabat terdekat Rasulullah, beliau adalah khalifah yang bijak, keluwesan perilaku, keluasan ilmu dan kedalaman imannya membuat beliau diinginkan semua golongan kala itu. Fatwa-fatwanya ditunggu oleh umat Islam Madinah dan muslim seluruh dunia waktu itu. Namun, pernahkah kita tahu, ternyata seringkali Abu Bakar menaruh batu di mulutnya untuk mempersedikit bicara. Hal tersebut diceritakan oleh Abu Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi dalam kitab Risalah Qusyairiyah. Ya benar-benar batu yang di masukkan Abu Bakar ke dalam mulutnya.

Betapapun Abu Bakar adalah seorang Khalifah pengganti Rasulullah yang seharusnya beliau memperbanyak memberikan nasehat dan bimbingan kepada umat Islam pada umumnya. Tetapi beliau lebih menghendaki memberi penderitaan pada mulut agar sedikit bicara, daripada mengeluarkan kalimat-kalimat yang boleh jadi akan menyakiti orang-orang di dekatnya.

Maka pantaslah Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad menggelari Abu Bakar dengan gelar Ash-Shidiq yang artinya benar, jujur atau dapat dipercaya. Karena memang Abu Bakar dari dulu sebelum masuk Islam sampai wafatnya selalu menjaga lisannya dari perkataan-perkataan buruk dan tidak benar. Sikap tersebut bagi Abu Bakar sebagai pembuktian implementasi keimanan dirinya yang mendalam.

Kemuliaan Abu Bakar sebab sikap menjaga lisannya juga diakuti Rasulullah SAW sendiri. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan al-Baihaqi, disebutkan bahwa beliau pernah bersabda, "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar."

Tentu kita tidak akan mencontoh dengan mengulum batu kali sepanjang hari. Atau mengikat batu bata di jemari. Tetapi paling tidak, kita harus menemukan cara untuk menahan mulut kita berbicara tidak baik dan jemari kita mengetik kalimat-kalimat yang tidak dikehendaki Nabi Muhammad SAW. Dan cara paling ringan ialah menahan diri.

Setelah mengetahui cerita di atas, maka kita hendaknya selalu melatih nafsu dan anggota badan terutama mulut kita untuk menjaga dari hal-hal yang dapat melukai perasaan orang lain yang itu termasuk larangan dalam agama Islam.d. “Belajarlah diam,” ujar seorang bijak. “Belajarlah diam sebagaimana engkau belajar berbicara. Karena ucapan akan memberimu petunjuk dan diam melindungimu.”

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.