Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Baru-baru ini, media social Indonesia digegerkan oleh berita pernikahan sepasang mempelai suami istri di Lombok Tengah dengan mahar hanya sepasang sandal jepit. Fenomena mirip semacam ini sebenarnya sudah banyak terjadi di Indonesia. Salah satu alasan utama pernikahan dengan resepsi dan biaya mahar yang sangat murah ini adalah supaya tidak memberatkan kedua mempelai, khususnya si suami. Fakta tersebut seharusnya menjadi contoh baik bagi jomblowan dan jomblowati yang masih bingung mau menikah tapi dirasa belum cukup uang atau belum mampu.
Sebenarnya tidak ada syarat dan rukun dalam pernikahan itu sepasang mempelai pengantin harus mampu secara ekonomi dulu. Hal inilah yang seringkali kita lupakan bahwa menikah tidak harus menunggu mapan dulu. Mungkin banyak para jomblo yang memikirkan bahwa dia harus mapan dulu baru menikah itu karena adat kebiasaan masyarakat sekitar yang mengharuskan adanya resepsi yang menghabiskan uang tidak sedikit dan minimal calon suami mempunyai pekerjaan yang penghasilannya banyak. Pikiran semacam ini salah dan tidak ada dasarnya dalam Islam.
Makna Sekufu’ (Selevel)
Selain urusan kemampuan secara ekonomi, anak muda yang mau menikah juga sering dibingungkan dengan pertanyaan pantaskah saya jika menikah dengan dia (calon pasangannya dan tentu juga keluarganya)? Pertanyaan anak muda sekarang ini pun merujuk lebih kepada kepantasan secara finansial ekonomi. Si miskin tidak merasa pantas menikah dengan si kaya atau si kurang mapan merasa tidak pantas menikah dengan si mapan. Begitu jug sebaliknya. Padahal keduanya sudah saling cinta. Pemikiran seperti ini juga agaknya terpengaruh perkataan atau pikiran masyarakat sekitar tentang pernikahan haruslah diadakan oleh keluarga atau pasangan yang sederajat/selevel.
Dalam konteks ini, memang ajaran Islam juga memperhatikannya. Namun apakah benar, sepasang suami istri harus sederajat atau selevel secara finansial ekonomi? Dalam kajian hukum Islam terkenal denga istilah kufu (الكُفْءُ), atau dalam kitab-kitab fiqih sering pula disebut kafâah (الكَفاءَة). Kafâah secara bahasa dari kata kerja yang terdiri dari huruf kaf, fâ`, dan hamzah, sedang kufu (الكُفْءُ) dalam kitab Lisânul ‘Arâb maknanya:
النَّظِيرُ والمُساوِي. وَمِنْهُ الكفَاءةُ فِي النِّكاح، وَهُوَ أَن يَكُونَ الزَّوْجُ مُساوياً للمرأَة فِي حَسَبِها ودِينِها ونَسَبِها وبَيْتِها وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Yaitu sebanding dan sepadan. Di antara misalnya adalah kafâah dalam pernikahan, artinya mempelai pria sebanding dengan mempelai wanita dalam silsilah kekeluargaan, agama, nasab, rumah, dan selainnya”.
Sedangkan kafâah menurut ilmu fiqih yang terdapat dalam kitab Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui karya Syekh Wahbah az-Zuhaili yaitu:
المماثلة بين الزوجين دفعاً للعار في أمور مخصوصة
“Kesetaraan di antara suami dan istri, guna mencegah kecacatan dalam beberapa perkara khusus”.
Jadi tidak ada persoalan jika salah satu mempelai kaya, dan yang lainnya miskin. Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muîn menyebutkan:
والأصح أن اليسار لا يعتبر في الكفاءة لان المال ظل زائل ولا يفتخر أهل المروءات والبصائر
“Pendapat yang ashah atau paling sahih (dalam mazhab Syafi’i) ialah bahwa harta tidak masuk kategori dalam kafâah, karena harta bisa lenyap, sedang para ahlul murûât dan bashâir (orang yang berakhlak tinggi dan taat kepada Allah) tidak berbangga diri dengan harta”.
Jangan Takut Menikah
Ketika sudah punya pasangan dan sudah punya keinginan menikah, maka segeralah jangan menunda-nunda. Jangan sampai ada kekhawatiran akan tidak mampu membiayai keluarga kecilnya karena belum punya penghasilan banyak dan lain sebagainya. Lebih parahnya lagi ada orang yang sudah berpenghasilan cukup tetapi masih khawatir saja untuk menikah karena rezeki yang ia peroleh belumlah banyak. Begitulah cara kerja setan untuk meniupkan kekhawatiran demi kekhawatiran agar seseorang mengulur waktu untuk segera menikah. Padahal Allah sudah berjanji akan mencukupi rezeki tiap-tiap makhluknya. Apalagi jika ia berikhtiar untuk menafkahi keluarganya, pasti Allah akan memberikan keberkahan terhadap apa yang ia peroleh dari ikhtiarnya itu.
Ada satu ayat yang bisa dibuat perenungan bagi siapa saja yang mau menikah tapi masih mempunyai kekhawatiran demi kekhawatiran seperti diatas. Allah berfirman:
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).
Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud berkata:
التمسوا الغنى في النكاح
“Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-Azhim mengenai tafsir ayat di atas).
Imam al-Qurtubi, mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung makna, bahwa jangan biarkan kemiskinan seorang laki laki dan seorang wanita menjadi sebuah alasan untuk tidak menikah semata-mata untuk memperoleh ridha Allah dan mencari tempat perlindungan dari ketidak patuhan padaNya.
Rasulullah pun memberikan teladan kepada umat Islam tentang pernikahan yang tidak membutuhkan kemapanan ekonomi sebelumnya. Rasulullah menikahkan putri bungsunya Siti Fatimah dengan Sayidina Ali RA dengan mahar yang dikeluarkan sayyidina Ali RA hanya 480 dirham. Itu pun sayyidina Ali RA harus menjual barang yang paling berharga miliknya, yakni baju zirahnya (baju perang).
Fakta sejarah tersebut mengisyaratkan bahwa Islam tidak mempersulit umatnya untuk menikah. Terpenting adalah syarat dan rukun nikah terpenuhi, maka pernikahan akan sah hukumnya. Menikah adalah salah satu ibadah yang diperintahkan Allah. Ketika Allah memerintahkan suatu hal kepada hambanya pasti ada banyak hikmah yang bisa diambil oleh hamba yang melaksanakannya. Apalagi Allah sudah berjanji akan menganugerahkan karunia-Nya kepada kita yang menikah, maka seharusnya kita yakin untuk menikah, karena itu perintah dan janji Allah itu pasti.
Abu Bakar ash-Shidiq juga meyakinkan kita untuk segera menikah dengan mengatakan “Patuhilah Allah dalam apa apa yang Allah telah perintahkan padamu untuk menikah. Allah akan memenuhi janjiNya untuk membuatmu kaya.” Hal senada juga diungkapkan oleh Umar bin Khatab yang mengatakan “Carilah kekayaan lewat pernikahan ! aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih aneh daripada seorang laki laki yang tidak mencari kekayaan lewat pernikahan. Padahal Allah telah menjanjikan jika mereka miskin, maka Allah akan mengumpulkan mereka dengan karuniaNya”.