Pojok PanturaPojok Pantura

Hasud Haram, Ghibthoh Boleh

 Hasud Haram, Ghibthoh Boleh | hasud adalah tak menginginkan orang lain senang dan cukup dirinya saja yang senang | Pojok Pantura

PojokPantura.Com - Sebagai seorang muslim, kita harus tahu sifat dan perilaku mana yang harus dihindari dan perlu dilakukan. Pengetahuan mengenai ini penting dimiliki agar hidup kita menjadi nyaman, focus beramal saleh dan beribadah kepada Allah. Di tambah, supaya kita tak terpengaruh dengan hal-hal yang bisa merusak suasana hati dan hati pun menjadi bersih. Karena bagaimanapun hati adalah organ yang penting untuk selalu dijaga lahir maupun batin.

Diketahui, hati menjadi pangkal dari sifat dan perilaku yang keluar dalam diri kita. Apabila hati kita baik, maka sifat dan perilaku yang keluar dari diri kita akan baik. Begitu juga sebaliknya. Salah satu sifat yang harus dihindari kita semua adalah hasud. Sifat ini bermula saat hati merasakan iri terhadap apa yang dimiliki orang lain dan ia menginginkan apa yang dimiliki orang lain itu hilang darinya.

Inti dari hasud adalah tak menginginkan orang lain senang dan cukup dirinya saja yang senang. Dampak dari sifat hasud ini sangat buruk. Karena ini akan memunculkan perilaku-perilaku tercela lainnya seperti, ghibah, namimah, mencela orang tersebut, mudah marah dan su’udzon. Oleh karenannya, hasud itu dihukumi haram, atau tak boleh orang memiliki sifat tersebut.

Keharaman tersebut selain karena munculnya perilaku-perilaku yang tercela di atas, juga bisa melenyapkan pahala amal ibadah yang sudah kita kerjakan sebelumnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Ghurairah Ra. dan Ibn Majah dari Anas, Rasulullah Saw. bersabda: “Hasud (dengki) itu dapat menggerogoti amal baik, sebagaimana api memakan kayu bakar “

Dasar-dasar hukum keharaman hasud selain hadits itu banyak sekali. Sesungguhnya hasud atau iri dengki pada hakikatnya ialah marah terhadap qodio’ (ketentuan) Allah Swt., yang telah menetapkan dan menentukan tentang kelebihan dan keutamaan sebagian hamba-hambanya terhadap dirinya. Dari itulah, maka tak ada kemaafan dan kelonggaran terhadap orang-orang yang bersifat hasud.

Selain istilah hasud atau iri dengki, ada istilah yang hampir mirip tapi hukumnya boleh, bahkan terkadang wajib dimiliki. Istilah tersebut adalah Ghibthah. Sama seperti hasud, sifat ghibthah berasal dari hati yang menginginkan apa yang dimiliki atau dilakukan oleh orang lain. Bedanya jika hasud menginginkan apa yang dimiliki orang lain itu lenyap, sedangkan ghibthah tak berkeinginan demikian.

Terkadang Ghibthah juga disebut berlomba-lomba atau bersaing dalam hal yang sama. Oleh karenannya, ghibthah atau munafasah itu diperbolehkan. Bahkan ghibthah diwajibkan manakala itu berhubungan dengan amal saleh. Seperti sama-sama ingin memperbanyak shadaqah, menghafal pelajaran, membantu orang dan beribadah. Hal di atas dihukumi wajib karena memang Allah perintahkan demikian. Sebagaimana firman Allah Swt. QS. Al Hadid ayat 21: ”Berlomba-lombalah kamu kepada mendapatkan ampunan dari Tuhanmu” .

Dalam kesempatan lain, Allah berfirman yang tertera di surat al-Baqarah ayat 148: “Dan setiap umat memiliki kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semua (pada hari kiamat). Sungguh Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”

Sesungguhnya yang disebut berlomba-lomba itu adalah rasa takut akan kehilangan sesuatu, seperti dua orang karyawan yang saling berlomba secara sehat untuk bekerja sebaik mungkin di depan bosnya. karena masing-masing merasa takut kehilangan “tempat” di hadapannya. Nantinya tentu yang lebih baik kerjaannya akan mendapatkan “tempat” yang lebih pula (di mata tuannya) dari yang lainnya.

Bagaimana hal tersebut disebut Hasud? sementara Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya: “Tidak disebut Hasud, kecuali dalam dua hal, yaitu : Orang yang dikaruniai harta oleh Allah Swt. lalu la menguasakan harta itu untuk dihabiskan dalam kebenaran, dan seorang laki-laki yang diberi ilmu oleh Allah Swt. kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada manusia“. Kemudian Rasulullah lebih menjelaskan hadist di atas dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abi Kabsyah al Anmari. Rasulullah bersabda: “Perumpamaan dari ummat ini adalah seperti empat macam golongan, yaitu : Seorang laki-laki yang dianugrahi Harta dan Ilmu, lalu dia mengamalkan ilmunya pada harta yang dimilikinya, dan seorang yang diberi ilmu tapi tidak diberi harta, Lalu orang ini berkata “Hai Tuhanku ! kalau saja aku mempunyai harta sebagaimana yang dipunyai sifulan, niscaya soya akan beramal dengan hartaku sebagaimana si Fulan beramal (dengan hartanya). Maka kedua laki-laki ini sama-sama mendapat pahala yang sama.”Keinginan yang muncul dari laki-laki kedua ini adalah agar ia mempunya harta sebagaimana laki-laki yang pertama supaya ia bisa beramal sepertinya tanpa ada perasaan senang akan hilanya harta laki-laki pertama.

Lalu Rasulullah meneruskan sabdanya : “Dan seorang laki-laki yang diberi harta tapi tidak diberi Ilmu, sehingga ia membelanjakan hartanya pada perbnatan-perbnatan maksiat kepa Allah Swt. dan seorang laki-laki yang diberi ilmu dan harta, lalu ia berkata “Kalau saja soya mempunya harta sebagaimana yang dipunyai si Fulan, niscaya soya akan menggunakan harta tersebut untuk berbvat maksiat”, maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan dosa.”

Baca Juga: Muhassabah Diri : Cerita Bergantinya Posisi Orang Kaya dan Pengemis Dalam Kitab Syarah Ratib al-Hadad

Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa ada batasan-batasan keinginan hati yang perlu diperhatikan. Apabila hanya ingin sesuatu yang sama seperti orang lain tanpa dibarengi keinginan hilangnya sesuatu tersebut dari orang lain lain, maka hukumnya boleh. Menjadi wajib jika berhubungan dengan amal saleh. Sebaliknya, haram hukumnya orang yang menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain itu hilang dan dibarengi dengan keinginan dirinya memiliki nikmat yang sama Wa Allahu A’lam.

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.