Pojok PanturaPojok Pantura

Praktek Sosialistik Dalam Pendidikan Islam

 Praktek Sosialistik Dalam Pendidikan Islam | Pendidikan sosialistik adalah pendidikan menjadi hak semua orang tanpa membedakan kelas sosial. Yang terwujud dalam pendidikan bermutu dan gratis. | Pojok Pantura

Pojok Pantura | PojokPantura.Com - “Prinsip penting dalam metode pendidikan Marxis Sosialis adalah pendidikan untuk semua (education for every one) artinya, tidak hanya orang kaya atau yang punya kekuasaan saja yang bisa menikmati pendidikan, tetapi semua anak laki-laki-perempuan, orang kaya-orang miskin, orang bangsawan-rakyat jelata; tidak seperti di negeri ini, tempat kapitalisme pendidikan dijalankan yang telah membuat pendidikan menjadi elitis artinya hanya orang yang mampu saja, sedangkan orang miskin tidak sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan.” (Nurani Soyomukti, 2008 : 118).

Dengan demikian, dapat dipahami pendidikan sosialistik adalah pendidikan menjadi hak semua orang tanpa membedakan kelas sosial. Yang terwujud dalam pendidikan bermutu dan gratis.

Menurut A. Tafsir (2004:257) Awal tradisi sosialistik muncul ketika Khalifah Umar bin Abdul al-Aziz 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakr Ibn Muhammad dan kepada ulama-ulama yang lainnya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis. Perintah ini telah melahirkan metode pendidikan yang disebut dengan (rihlah) yaitu para ulama mencari hadis kepada orang-orang yang dianggap mengetahuinya di berbagai tempat.

Sejarawan Ibnu Khaldun menulis dalan muqaddimah bahwa dulu para pencari ilmu tidak akan merasa cukup dengan hanya membaca karya-karya pemikir dan ulama, bila penulis buku masih hidup, ia akan mengembara guna dapat bertemu dengan penulis buku. Mereka akan duduk dihadapan sang guru dan mempelajari kitab-kitabnya serta mencontoh prilaku dan tata caranya.

Hal ini pun dipertegas dalam tradisi pendidikan Islam, yakni pendapat syaikh az-Zarnuji dalam kitab Ta'lim al-Mutaalim yang memasukan pasal cara memilih guru, menurutnya cara memilih guru carilah yang alim, yang bersifat wara' dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria/ sifat-sifat tersebut, maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepada beliau.

Begitu yang dialami oleh Imam Syafi'i dalam mencari ilmu, beliau berpindah dari satu kota ke kota lain, sehingga beliau tidak terikat oleh satu paradigma pemikiran saja, pada taraf inilah sosialistik pendidikan Islam ditemukan, dimana seorang pelajar tidak terikat oleh satu paradigma atau ideologi tertentu. Dengan demikian dinamisasi pemikiran dan keilmuan lebih memungkinkan untuk berkembang. Baru kemudian, pada abad 475 H. Pemerintah ikut campur tangan dalam tubuh pendidikan Islam, Seperti dalam madrasah Nizhammiyyah. Pada taraf ini sosialistik pendidikan Islam dilihat dari pendidikan berhak diakses oleh semua orang, dengan mewujudkan pendidikan gratis.

Asma Hasan Fahmi (1979:30) menjelaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pikiran setempat yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat Islam dan perkembangannya digerakkan oleh jiwa Islam dan berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam dan tujuan-tujuan Islam.Secara keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu bukanlah sesuatu yang datang dari luar atau diambil dari kebudayan-kebudayaan yang lama, akan tetapi ia dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Islam secara umum dan di dalamnya terlihat tujuan-tujuan dan sikap kehidupan tersebut. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terpenting adalah al-Kuttab, Masjid, Dar al-Hikmah, Dar al-Ilmi, Madrasah, Bimaristan, Khawanik, Zawaya, al-Rabith, Halaqat al-Dars dan Duwar al-Kutub.

Baca Juga: Pentingnya Studi Pesantren Di Perguruan Tinggi: Upaya Menangkal Radikalisme Di Kampus

Al-kuttab didirikan oleh orang orang arab pada masa Abu Bakar dan Umar al-Khattab adalah sekolah dasar bagi anak-anak. al-Kuttab telah tersebar luas dengan tersebar luasnya agama Islam diseluruh pelosok negeri, dan pembentukkan al-Kuttab untuk mengajarkan al-Qur’an, membaca, menulis dan agama dianggap sebagai pekerjaan yang paling mulia dan terhormat di sisi tuhan, sehingga kebanyakan berlomba-lomba untuk mendirikannya. Seperti halnya Abdullah bin al-Harts mengajar anak-anak tanpa mengambil upah sama sekali.

Kemudian lembaga pendidikan berikutnya adalah Masjid dan jami’ berfungsi sebagai sekolah menengah dan perguruan tinggi dalam waktu yang sama. Masjid telah didirikan oleh pemerintah atau oleh perorangan yang hartawan. Baik ia sebagai raja atau rakyat biasa. Masjid tetap merupakan tempat yang utama untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu lainnya, dan pendidikan biasanya diberikan dengan cara cuma-cuma di sekolah-sekolah dan disamping itu disertai dengan hadiah-hadiah. Dan diantara masjid-masjid yang terkenal sebagai tempat belajar adalah masjid Amru bin Ash mulai digunakan tempat belajar pada 36 H, masid Ibnu Thulun digunakan belajar sejak tahun 256 H dan masjid Al-Azhar. Belajar di masjid-masjid itu tidak terikat suatu syarat pun, setiap orang berhak untuk mendengarkan pelajaran yang diberikan disitu, selama ia mempunyai keinginan unntuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mempunyai kemampuan untuk memahaminya, belajar di situ tidak terikat jenis kelamin, atau keahlian. Selain belajar agama, juga dilengkapi dengan berbagi cabang ilmu seperti syair, nahwu, sastra, falak, hisab, dan kedokteran.

Asma Hasan Fahmi (1979:36) mengatakan lembaga pendidikan yang lain adalah madrasah. universitas Islam atau yang dahulu disebut dengan madrasah, dimulai pada abad IV H./ XI M. Madrasah adalah satu jenis lain dari lembaga pendidikan tinggi seperti masjid. Sejarawan Al-Maqrizi mengatakan bahwa di antara madrasah-madrasah yang didirikan masa dahulu adalah madrasah Nizhamiyah di Bagdad. Sekolah ini didirikan oleh perdana menteri Nizham al-Mulk, didirikan pada tahun 457 H. Di seluruh pelosok dunia Islam, para khalifah, raja-raja, orang kaya telah berlomba-lomba untuk mendirikan madrasah-madrasah sejak dari abad XI Masehi. Al-Maqrizi mengatakan juga bahwa di Cairo sendiri terdapat 63 madrasah kebanyakan dari madrasah-madrasah itu merupakan bukti dari kesenian Islam, yang pembangunannya dibiayai dengan uang yang banyak. Dan kepada madrasah-madrasah ini diberikan harta waqaf yang digunakan untuk gaji para fuqoha, pelajar-pelajar, pegawainya.

Ismail Alatas (2006:27) mengungkapkan bahwa Para murid yang tertarik untuk mempelajari ilmu agama dengan sendirinya datang untuk belajar di universitas tersebut. Biaya pendidikan dan kehidupan mereka ditanggung oleh pemerintah yang telah mengalokasikan dana yang amat besar untuk pendidikan. Kesejahteraan para guru dan murid dengan sendirinya dijamin oleh pemerintah agar kedua belah pihak (guru-murid) terfokus pada kegiatan belajar mengajar. Dikatakan Nizham al-Mulk mewakafkan sejumlah 200.000 keping emas pada saat madrasah Nizhamiyyah didirikan dan setiap tahunnya beliau menyumbangkan 15.000 Dinar.