Pojok PanturaPojok Pantura

Belajar dari Ibnu Taimiyyah Tentang Kedisiplinan dan Keberkahan Waktu

 Belajar dari Ibnu Taimiyyah Tentang Kedisiplinan dan Keberkahan Waktu | hendaknya setiap orang haruslah memperhatikan waktu dan jangan sampai malah kita menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak baik | Pojok Pantura

Pojok Pantura | PojokPantura.Com - Waktu adalah sesuatu yang terus menerus bergerak maju tanpa bisa dihentikan ataupun putar ulang kebelakang. Setiap orang mempunyai waktu atau kesempatan yang diberikan oleh Allah di dunia untuk melakukan kebaikan dan beribadah. Maka dari itu hendaknya setiap orang haruslah memperhatikan waktu dan jangan sampai malah kita menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak baik, semisal bermain gadget terus menerus, nongkrong tanpa keperluan, atau hal-hal yang sifatnya dapat merugikan orang itu sendiri dengan tidak melakukan aktifitas yang baik dan bermanfaat. Nabi SAW pun memperingatkan umatnya untuk tidak rugi dalam hidupnya. Nabi Muhammad bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Dua nikmat yang kebanyakan manusia rugi di dalamnya: Kesehatan dan Kesempatan” (HR. Bukhari)

Sang pemilik waktu, Allah SWT dalam al-Qur’an sering mengingatkan arti pentingnya waktu bagi hambanya dalam beberapa firmanNya. Ketegasan Allah dalam mengingatkan hambanya itu ditandai dengan sumpah yang ditandai dengan menggunakan kalimat masa atau waktu. Hal ini menandakan pula betapa Allah SWT sangat perhatian sekali kepada hamba-hambanya yang seringkali lalai dalam hal memanfaatkan waktu. Contoh peringatan Allah itu seperti firman-Nya:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (Qs. al-Ashr: 12)
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang”. (Qs. al-Lail: 1-2)
وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)” (Qs. adh-Dhuha: 1-2)

Waktu siang dan malam yang Allah berikan kepada setiap orang itu sama kuantitasnya. Betapapun sama secara kuantitas, sebagian hamba Allah seakan tidak mengejar kualitas waktu yang dimilikinya. Kualitas pemakaian waktu seorang hamba diukur dari seberapa sering ia dapat mengambil pelajaran ditiap detiknya dan bersyukur kepada Allah atas segala anugerah yang telah diberikan kepadanya disetiap detiknya pula. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِّمَنْ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur”. (Qs. al-Furqan: 62)

Di setiap waktu seharusnya setiap hamba selalu mengingat Allah, yakni dengan mengingat nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepadanya dan juga untuk mengingat bahwa setiap hamba hakekatnya mempunyai tujuan hidup, yaitu beribadah kepada Allah. Selain itu, dengan mengingat itu semua, maka tiap hamba akan termotivasi untuk mengembangkan potensi diri di dalam kehidupan ini. Hal-hal yang demikian itu ialah termasuk perilaku para nabi, orang-orang sholeh dan ulama yang mempergunakan waktu dengan sangat baik di setiap harinya.

Salah satu ulama yang betul-betul menggunakan waktunya dengan sangat baik Syaikh Ibnu Taimiyah. Ulama ini lahir pada tanggal dan bulan yang sama persis dengan Rasulullah SAW yakni 12 Rabiul Awal, tahun 661 H. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang memiliki tingkat kedisiplinan yang sangat tinggi, waktunya sangat berkah dan tidak pernah disia-siakan dengan hal-hal yang tidak berfaidah. Diantara bukti keberkahan waktunya ialah beliau mampu mengarang banyak sekali kitab yang jika dijumlah ada sekitar 500 jilid. Itu beliau tulis dalam waktu yang tergolong singkat, 67 tahun. Di antara karya beliau yang masyhur yakni Al-Muharror, al Muswaddah dan Muntaqo min al-Ahadist al-Ahkam. Nama kitab yang terakhir ini disarahi oleh Imam Syaukani dengan judul kitab Nailul Author.

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Qimatuzzaman menukil pendapat yang shahih seperti yang dituturkan oleh al-Hafidz Ibnu Rajab bahwa karya Ibnu Taimiyah banyak sekali dan tidak mungkin bisa dihitung. Bahkan Abdul Fattah mempercayai bahwa Syekh Ibnu Taimiyah sendiripun tidak akan mampu untuk menghitungnya. Hal ini menjadi bukti bahwa Ibnu Taimiyah menjaga waktunya dengan sebaik-baiknya dengan diisi muthala'ah kitab, menulis, mengajar dan ibadah. Waktu yang beliau lewati dan miliki hanya diisi oleh ilmu dan amal dalam kondisi sehat maupun sedang sakit sekalipun.

Salah satu murid beliau Imam Ibnul Qayyim menulis kesaksiannya tentang kedisiplinan waktu gurunya, Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin. Diterangkan bahwa gurunya pernah berkisah kepadanya, suatu ketika beliau jatuh sakit, lalu dipanggillah seorang dokter dan ia menasihati beliau untuk berhenti membaca dan me-muthala'ah kitab. Dokter itu berkata: "Muthala'ahmu dan pembicaraanmu tentang ilmu saat ini akan menyebabkan penyakitmu semakin parah!", Syekh Ibnu Taimiyah pun menjawab : "Justru aku sangat tidak sabar untuk segera me-muthala'ah dan berbicara tentang ilmu. Wahai dokter, sekarang aku menggugatmu dengan disiplin ilmumu sendiri, bukankah dalam disiplin ilmu medis ada suatu pernyataan bahwa ketika jiwa kita merasa senang dan bahagia, maka tubuh dan imun kita akan semakin kuat sehingga bisa menolak berbagai penyakit?", sang Dokter menjawab: "Betul sekali", Lalu Syekh Ibnu Taimiyah langsung menimpali: "Jiwaku merasa sangat senang dan bahagia dengan ilmu, maka dengan itu, imun dan kekuatanku akan bertambah sehingga aku menemukan ketentraman dan kenyamanan". Sang dokterpun langsung berkata: "Sungguh, ini di luar pengobatan kami!".

Marilah kita belajar dari kedisiplinan dan keberkahan waktu dari Ibnu Taimiyah sesuai tanggungjawab kita masing-masing, baik itu sebagai pekerja, pencari ilmu dan hamba Allah. Jangan sampai kita tidak mensyukuri nikmat waktu yang telah diberikan, bahkan cenderung menyia-nyiakannya. Hal-hal yang demikian akan sangat dimurkai Allah, maka Allah akan membalasnya dengan siksa di neraka. Sebagaimana yang tergambar dalam berfirman Allah SWT :

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
“ Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang lalim seorang penolongpun.” ( Qs. Fathir : 37 )

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.