Pojok PanturaPojok Pantura

Hukum Membatalkan Lamaran dan Konsekuensinya

 Hukum Membatalkan Lamaran dan Konsekuensinya | membatalkan lamaran secara social dan etika akan berdampak kurang baik di antara keluarga itu dan mungkin juga di masyarakat | Pojok Pantura

Lamaran atau tunangan atau dalam bahasa arab dinamakan khitbah ialah suatu langkah awal untuk menuju ke tahap yang lebih serius, yakni nikah. Betapapun demikian, lamaran sesungguhnya bukan menjadi syarat sahnya sebuah pernikahan. Perihal inilah, banyak orang yang salah mempresepsikannya.

Lazimnya di masyarakat, lamaran dilaksanakan oleh pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Mereka memformalkan acara lamaran dengan membawa seserahan barang dan makanan. Termasuk salah satunya cincin emas, yang nanti saat acara secara simbolis akan dipakaikan oleh ibu dari pihak laki-laki kepada perempuan, calon menantunya. Tradisi ini terus berlaku sampai sekarang di banyak tempat.

Tradisi lamaran ini terlihat mudah dan bagus dipandang dan didengar manakala tidak ada problem sesudah itu sampai hari pernikahan tiba. Namun menjadi problem ketika ada sesuatu yang membatalkan lamarannya, baik itu dari satu pihak maupun kesepakatan kedua belah pihak. Memang betul untuk mencapai tahapan pernikahan, harus ada kecocokan antara kedua belah pihak untuk keberlangsungan kehidupannya.

Membatalkan lamaran itu berarti sangkut pautnya dengan keluarga besar kedua belah pihak dan mungkin urusannya akan menjadi pelik. Maka dalam tulisan ini, akan dibahas hokum membatalkan lamaran, baik dengan alasan yang jelas, maupun tidak jelas. Serta konsekuensi terkait pembatalan itu.

Hukum Membatalkan Lamaran

Perlu diingat kembali bahwa lamaran sifatnya itu tidak mengikat. Hanya sebagai perkenalan atau ta’aruf antar keluarga, khususnya si laki-laki dan perempuan calon mempelai pernikahan. Maka dari itu, membatalkan lamaran secara social dan etika akan berdampak kurang baik di antara keluarga itu dan mungkin juga di masyarakat.

Dalam hal ini seorang wali memiliki kuasa penuh atas perempuan (sebab ia masih perawan) atau seorang perempuan yang sudah bebas (sebab ia janda) dapat membatalkan lamaran yang sudah ia terima. Mengingat kedudukan lamaran yang tidak mengikat dan kekuasaan seorang wali, maka membatalkan lamaran hukumnya boleh atau tidak makruh. Selagi dengan alasan yang jelas itu bisa diterima.

Alasan yang jelas dan mendasar yang dimaksud adalah terkait agama dan akhlak. Jika si laki-laki dalam perjalanannya setelah lamaran memiliki keagamaan dan akhlak yang tidak baik, maka itu bisa menjadi alasan yang jelas untuk membatalkan lamarannya. Begitu juga sebaliknya. Jadi kedua pihak mempunya hak yang sama. Kenapa agama dan akhlak boleh menjadi dalil membatalkan lamaran? Hal itu karena keduanya memang menjadi pondasi dalam menjalin pernikahan dan menjamin keberlangsungan hidup yang sakinah, mawadah wa ar-rahmah. Maka keduanya ini harus diperhatikan benar-benar.

Tetapi jika membatalkannya dengan alasan yang tidak jelas dan tidak mendasar (selain agama dan akhlak), maka hukumnya ialah makruh. Menjadi makruh karena termasuk dari pada ingkar terhadap janji atau menarik kembali ucapan yang keluar dari mulut. Apalagi alasannya tidak mendasar, semisal kekurangan ekonomi, rendahnya pekerjaan dan sebagainya.

Harus diketahui bahwa membatalkan lamaran itu tidak menjurus kedalam keharaman. Sebab hak yang ada dalam sebuah lamaran bukanlah hak yang mengikat, seperti halnya orang yang menawar sebuah barang, namun ia tidak jadi membeli. Hal ini diterangkan dalam kitab Kasyf al-Qina:

وَلاَ يُكْرَهُ لِلْوَلِيِّ الْمُجْبِرِ الرُّجُوْعُ عَنِ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ وَلاَ يُكْرَهُ لِلْمَرْأَةِ غَيْرَ الْمُجْبَرَةِ الرُّجُوْعُ عَنْ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ صَحِيْحٍ لأَنَّهُ عَقْدُ عُمْرٍ يَدُوْمُ الضَّرَرُ فِيْهِ فَكَانَ لَهَا اْلاحْتِيَاطُ لِنَفْسِهَا وَالنَّظَرُ فِيْ حَظِّهَا وَالْوَلِيُّ قَائِمٌ مَقَامَهَا فِيْ ذَلِكَ وَبِلاَ غَرَضٍ صَحِيْحٍ يُكْرَهُ الرُّجُوْعُ مِنْهُ وَمِنْهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ إخْلاَفِ الْوَعْدِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ الْقَوْلِ وَلَمْ يَحْرُمْ لأَنَّ الْحَقَّ بَعْدُ لَمْ يَلْزَمْ كَمَنْ سَاوَمَ لِسِلْعَةٍ ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ لاَ يَبِيْعَهَا اهـ
“Tidak dimakruhkan bagi seorang wali yang memiliki kuasa atas perempuan untuk menarik kembali lamaran yang sudah disetujui. Tidak pula dimakruhkan bagi perempuan yang bebas. Keduanya itu jika dengan tujuan yang shahih. Sebab pernikahan adalah akad yang berkelanjutan yang efeknya akan dirasakan selamanya. Maka seorang perempuan atau wali bisa lebih berhati-hati dalam mempertimbangkannya. Dan bila tanpa adanya tujuan yang sahih, maka dimakruhkan menarik kembali dari lamaran yang sudah disetujui. Sebab hal ini termasuk bentuk pengingkaran terhadap janji ataupun menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Namun tidak sampai mencapai taraf haram, sebab hak yang ada dalam lamaran yang telah disetujui itu bukanlah hak yang mengikat. Seperti halnya orang yang menawar sebuah barang lantas ia tidak jadi untuk membelinya”.

Konsekuensi Pembatalan

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh menerangkan bahwa sebenarnya tidak ada konsekuensi apapun yang ditanggung atas batalnya sebuah lamaran.

لا يترتب على انفساخ الخطبة أي أثر ما دام لم يحصل عقد
“Tidak ada apapun atas rusaknya lamaran, yaitu tiada konsekuensi hukum apapun selama belum ada akad nikah”

Dalam konteks pembatalan lamaran, perlu diperjelas kembali terkait cincin emas yang sering dipakai sebagai simbolis sebuah lamaran. Apakah itu sebagai mahar pernikahan yang diberikan terlebih dulu saat lamaran atau itu hanya seserahan biasa?

Jika cincin ema situ dimaksudkan untuk mahar, maka wajib hukumnya si perempuan untuk mengembalikan barang itu. Karena itu memang pemberian pernikahan. Namun karena lamarannya batal, makai ia harus mengembalikannya kepada si laki-laki. Pendapat ini seperti diungkapkan oleh Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh. Beliau berkata:

وأما ما قدمه الخاطب من مهر: فله أن يسترده، سواء أكان قائماً أم هالكاً أم مستهلكاً، وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً، أياً كان سبب العدول، من جانب الخاطب أو من جانب المخطوبة. وهذا متفق عليه فقهاً
“Sedangkan (utuh atau sebagian) mahar yang diserahkan lebih dulu saat lamaran (sebelum akad nikah) oleh pihak laki-laki yang melamar, boleh diminta kembali apakah mahar itu masih ada, rusak, atau sudah digunakan. Kalau sudah habis atau sudah digunakan, maka mahar itu dikembalikan dalam bentuk nilainya jika barang itu dapat dinilai dengan nominal, dan dikembalikan dengan barang sejenis bila barang serupa itu mudah ditemukan, apapun sebabnya baik dari pihak laki-laki yang melamar maupun dari pihak perempuan yang dilamar. Hukum ini disepakati secara fiqih”.

Hukum ini berlaku bagi semua barang seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar saat lamaran yang mempertemukan dua keluarga. Sedangkan soal kedudukan barang seserahan yang tidak dimaksudkan sebagai mahar, ulama berbeda pendapat terutama perihal kepemilikan dan penarikan kembali ketika rencana perkawinan keduanya gagal. Ada yang berpendapat tidak wajib mengembalikan, karena memang itu sebuah pemberian. Adapula yang menganggap itu wajib dikembalikan.

Salah satu ulama yang mewajibkan untuk mengembalikan seserahan itu yakni Syaikh Muhammad Syalthut. Beliau mengkiaskan problem ini dengan kebolehan melanggar sumpah apabila ada kebaikan yang lebih ketika sumpah itu dilanggar. Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah SAWyang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
مَنْ حلَف عَلَى يَمِينٍ فَرأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، ولْيَفْعَل الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Siapa yang bersumpah, kemudian dia berpendapat bahwa lebih baik untuk melanggar sumpahnya, maka hendaknya ia membayar kaffarah dari sumpahnya dan melakukan apa yang menurutnya baik”. (H.R. Muslim).

Membatalkan lamaran syogyanya harus tetap menjaga nama baik kedua belah pihak dan keluarga besarnya. Salah satu buktinya yakni mengembalikan semua pemberian yang diberikan pihak laki-laki, jika yang menghendaki membatalkan lamarannya itu pihak perempuan. Pada dasarnya, sebuah rencana pernikahan yang diawali dengan lamaran itu bentuk suatu iktikad baik. Maka ketika sebuah lamaran dibatalkan, mengakhirinya pun harus dengan iktikad yang baik pula Wa Allahu A’lam.

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk