Pojok PanturaPojok Pantura

Kovenan Hak Sipol: Tidak Dibenarkan Menghina Suatu Agama Dengan Dalih Kebebasan Berekspresi

 Kovenan Hak Sipol: Tidak Dibenarkan Menghina Suatu Agama Dengan Dalih Kebebasan Berekspresi | Menganalisis kasus penghinaan agama Islam dengan dalih kebebasan berekspresi di dunia barat tidak akan bisa menggunakan dalil-dalil syariat Islam | Pojok Pantura

PojokPantura.Com - Menganalisis kasus penghinaan agama Islam dengan dalih kebebasan berekspresi di dunia barat tidak akan bisa menggunakan dalil-dalil syariat Islam. Karena memang mereka tidak mengenal apa itu syariat Islam dan mereka pun tak merasa terikat dengan seperangkat hukum itu. Maka perlu untuk meninjau kasus ini dengan hukum Internasional yang semua negara menganutnya, termasuk Prancis. Dengan pertanyaan yang mendasar, apakah hokum internasional membenarkan menghina agama dengan dalih kebebasan berekspresi (yang dimaksud dan dibela Macron)?

Dalam tulisan ini, tindakan menghina Islam yang didukung oleh presiden di Prancis kemarin akan di analisis dengan suatu hukum internasional yang dirancang oleh komisi HAM PBB. Hukum Internasional yang dimaksud adalah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang disepakati di tahun 1966. Karena sesungguhnya Prancis adalah salah satu negara pihak, yang itu artinya mereka wajib menaati isi dari kovenan.

Kasus berawal ketika seorang guru di Prancis bernama Samuel Patty, yang menunjukkan kepada murid-muridnya (termasuk murid-murid muslim) kartun Nabi Muhammad yang tergambar buruk sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Buntut dari pelajarannya itu ia dibunuh pada malam 16 Oktober 2020. Presiden Prancis Emmanuel Macron menuduh insiden itu sebagai "serangan teroris oleh Islamis" dan beranggapan bahwa guru berusia 47 tahun itu dibunuh karena "mengajarkan kebebasan berekspresi" kepada murid-muridnya.

"Itu adalah serangan terhadap Republik Prancis dan nilai-nilainya, dan perang Prancis melawan terorisme Islam adalah perjuangan eksistensial," kata Macron. Tapi anehnya, dalam pidatonya, Presiden Prancis tidak menyebutkan motif pembunuh dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw.

Dalam Bagian 2 pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebenarnya sudah dinyatakan bahwa, “Setiap Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui oleh kovenan ini bagi semua orang yang berada diwilayahnya, dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau social, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.”

Ikatan janji yang tertuang dalam kovenan di atas seharusnya benar-benar diingat dan diaplikasikan Prancis dan negara barat pada umumnya untuk tidak membela orang yang telah mencederai hak beragama orang lain. Hal ini pun sesuai dengan kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau – yang menjadi dasar legitimasi hukum dan pemerintahan di Barat – manusia memiliki kebebasan, dan untuk menghindari konflik dan kekacauan, kebebasan manusia dibatasi pada kebebasan dan hak-hak manusia lainnya.

Melihat pasal-pasal kebebasan dan hak-hak manusia yang diakui hukum internasional adalah hak untuk memilih agama atau keyakinan. Konsekuensi dari pada itu ialah orang lain wajib menghormati hak dan nilai-nilai agama tersebut. Salah satu nilai keyakinan agama yang paling utama adalah mensucikan pribadi tertentu atau tempat-tempat tertentu dalam agamanya. Menyerang dengan cara menghina kebebasan dan hak beragama orang lain termasuk sakralitas agama haruslah dihindari. Karena bagi banyak orang, sakralitas agamanya bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada nyawa, harta benda, dan kehormatan, dan mereka berani mengorbankan jiwa, harta benda, dan kehormatannya di jalan ini.

Dinyatakan pula di pasal 18 ayat 1, "Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama orang lain, baik ditempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran”.

Pasal di atas juga sebetulnya menambah keterangan bahwa agama atau kepercayaan sebagai hak yang tak terbantahkan untuk sama-sama dihormati. Artinya menghina suatu agama dengan dalih kebebasan berekspresi akan secara otomatis tertolak. Karena jelas bahwa apapun yang berhubungan dengan agama dan keyakinannya, seperti sakralitas simbol-simbol agama dan kepercayaan tidak boleh dinistakan. Seperti dalam kasus ini yang menjadi simbol agama adalah orang termulia dalam agama Islam dihinakan dengan digambarkan dengan cara buruk.

Menghina suatu simbol agama berarti membenci suatu agama, dan itu sudah dinyatakan terlarang oleh hukum. Sebagaimana pasal 20 ayat 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan bahwa “segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.”

Sudah terang bahwa penghinaan agama adalah contoh dari seruan kebencian terhadap agama yang akan memicu konflik kekerasan, dan ini sudah terbukti kemarin di Prancis. Dapat dikatakan, kasus penghinaan agama adalah sebuah kejahatan. Di negara-negara pihak kovenan seharusnya mengakui ini sebagai kejahatan serta hasutan untuk permusuhan dan kekerasan.

Anehnya, berdasarkan dokumen, pernyataan, dan slogan-slogan para pembela HAM, Barat menerima larangan penghinaan terhadap ras atau suku serta menegaskan larangan menyangkal Holocaust di Eropa, tetapi mereka membenarkan berulang kali penghinaan terhadap kesucian agama (terutama Islam) dengan dalih bahwa agama adalah pilihan dan itu juga bagian dari kebebasan berekspresi.

Baca Juga: Dua Kisah Makar yang Terjadi di Hari Sabtu

Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak dibenarkan menghina suatu agama dengan dalih kebebasan berekspresi. Kepercayaan pada keberagaman, hidup damai berdampingan, dialog dan kerja sama antar-agama, peradaban dan umat manusia beserta nilai-nilai yang dilandasi pada penghormatan terhadap sesama, tanpa memandang agama atau ideologinya, dapat menjadi solusi mendasar untuk mengakhiri rasisme dan berbagai bentuknya di dunia modern.

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.