Pojok PanturaPojok Pantura

Sosiolog UGM: Kekerasan Satpol PP Saat PPKM Cerminkan Kegagalan Pemerintah Dalam Membentuknya Sebagai Agen Pelayan Masyarakat

Mas Popa
 Sosiolog UGM: Kekerasan Satpol PP Saat PPKM Cerminkan Kegagalan Pemerintah Dalam Membentuknya Sebagai Agen Pelayan Masyarakat | praktik kekerasan di masa pandemi yang dilakukan Satpol PP menunjukan kegagalan pembentukan ASN sebagai agen pelayan masyarakat, tegas Widyanta | Pojok Pantura
PojokPantura.Com, Nasional -

Berita-berita kekerasan petugas dalam melaksanakan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembentukan Kegiatan Masyarakat), khususnya petugas unsur Satpol PP membuat public yang melihatnya geram. Diketahui di social media, Kekasaran Satpol PP terhadap pedagang kaki lima dan pengusaha kafe atau toko dilakukan di banyak daerah.

Yang terbaru dan viral di media social, seorang petugas Satpol PP menampar sepasang suami istri pemilik kafe saat rombongan petugas PPKM inspeksi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Berdasarkan video yang beredar, saat kejadian berlangsung, suami dan istrinya itu sudah menutup kedai kopi tersebut. Walaupun suara musiknya masih terdengar, suami istri tersebut beralasan sedang mempromosikan usahanya di media sosial Facebook.

Kekerasan dalam menjalankan tugas sebenarnya tak dibenarkan dalam tugas Satpol PP. Karena menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP bertugas untuk menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan Masyarakat.

Oleh karenanya, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB.Widyanta menuturkan semestinya di masa pandemi Covid-19 ini ASN seperti Satpol PP mengedepankan pendekatan yang humanis dalam menegakkan peraturan dan menertibkan masyarakat. Ia pun tegas mengatakan pemerintah gagal dalam membina ASN.

"Praktik-praktik kekerasan di masa pandemi yang dilakukan Satpol PP menunjukan kegagalan pembentukan ASN sebagai agen pelayan masyarakat," tegas Widyanta.

Widyanta menyarankan ASN, termasuk Satpol PP harus diberi penguatan intelegency socio cultural agar fungsinya sebagai agen pelayan dan pelindung masyarakat bisa dilakukan dengan baik dan benar.

"Sehingga pendekatan humanis lebih dikedepankan bukan pendekatan kekerasan. Namun lebih pada affirmative action yang memprioritaskan masyarakat yang lemah sebagai prioritas pelayanan publik," terang dia.

Ia juga menduga bahwa Widyanta menegaskan, petugas-petugas PPKM yang melakukan kekerasan lupa bahwa dirinya adalah pelayan dan pelindung masyarakat yang seharusnya bersikap humanis. Walaupun sedang menegakkan peraturan sekalipun. Jangan sampai emosi sesaat dan lupa dirinya bekerja atas nama negara tak mengindahkan dimensi etis.

"Dimensi etis dan humanis harus dikedepankan. Para ASN ini harus mengingat bahwa mereka pelayan publik. Dia bergerak bukan atas nama pribadi tapi negara," tuturnya.

Widyanta kemudian mengkhawatirkan jika fenomena kekerasan ini terus berlanjut, maka yang timbul adalah ketidakpercayaan masyarakat, yang ini bisa menjurus kepada pembangkangan. Karena di beberapa daerah sudah mulai terjadi. Walaupun masih dalam skala kecil.

Baca Juga: DPR dan Epidemolog: Vaksinasi Berbayar Jangan Ditunda Tapi Dibatalkan

"Tentu dampaknya pada masyarakat adalah munculnya public distrust dan berlanjut dengan dampak yang lebih besar seperti pembangkangan-pembangkangan," pungkasnya.