Pojok PanturaPojok Pantura

Cocok Dibaca Saat Terjadi Banyak Musibah, Ini Sejarah Qunut Nazilah

 Cocok Dibaca Saat Terjadi Banyak Musibah, Ini Sejarah Qunut Nazilah | nabi Muhammad SAW pertama kali melafadzkan qunut nazilah pada tahun 4 hijriyah atau 4 tahun setelah hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinah | Pojok Pantura

PojokPantura.Com - Musibah atau bencana tak bisa diprediksi kedatangannya. Siapa yang ditimpakannya pun tak bisa dipilih dan mengelaknya. Karena semua itu takdir dan kuasa Allah. Sebagai umat Islam, baik yang terkena musibah ataupun tidak, sama-sama dianjurkan untuk bersabar dan berdoa memohon keselamatan. Salah satu doa yang dianjurkan adalah qunut nazilah.

Kira-kira sudah setahun ini, umat Islam di Indonesia sudah sering menyisipkan qunut nazilah di setiap shalat wajib dan Jum’at. Baik shalat wajib dilakukan sendirian maupun berjamaah. Pandemi covid-19 ini membuat kita umat Islam rutin melafadzkan qunut nazilah ini. Ditambah bencana atau musibah longsor, banjir dan gempa bumi yang baru-baru ini dialami oleh warga Indonesia di beberapa daerah, membuat kita harus terus melafadzkannya guna memohon keselamatan kita semua.

Qunut nazilah bukanlah bid’ah. Melainkan ini sunnah. Yang artinya, ini sudah pernah dilakukan dan diajarkan oleh nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya di kala umat Islam waktu itu terna musibah. Memang sesuai namanya, qunut adalah doa yang kita kenal yang selalu disisipkan sebelum sujud rakaat terakhir shalat subuh dan saat shalat witir di malam pertengahan sampai akhir bulan ramadlan. Kemudian kata nâzilah, yang berarti “turun”. Jadi qunut nazillah adalah doa qunut yang dianjurkan untuk dibaca ketika musibah atau bencana turun.

Sejarah Qunut Nazilah

Dalam sejarah Islam, nabi Muhammad SAW pertama kali melafadzkan qunut nazilah pada tahun 4 hijriyah atau 4 tahun setelah hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinah. Ceritanya yakni ketika itu umat Islam sudah diperhitungkan kekuatannya di jazirah arab, agama Islam sudah dikenal luas dan sudah banyak peminatnya serta nama nabi Muhammad sudah masyhur ditelinga banyak orang dengan kepemimpinannya.

Melihat fenomena-fenomena di atas membuat syiar Islam nampak mudah dan kehadirannya sudah banyak yang menunggu. Terbukti, kala itu beberapa daerah dan kabilah meminta pada nabi Muhammad SAW untuk mengirimkan beberapa sahabat untuk menjadi dai pendakwah Islam di daerah asal mereka. Saat itu, nabi Muhammad menerima semua permintaan delegasi dai dengan sangat baik dan serius. Pasalnya, nabi SAW memilih para sahabat yang patut dijadikan rujukan masyarakat dengan memiliki kriteria penghafal al-Qur’an, ahli ibadah, berakhlak baik, memiliki keluasan ilmu pengetahuan.

Namun realitanya, ada beberapa kasus pendelegasian dai tak sesuai rencana. Para dai banyak yang dibunuh oleh musuh Islam. Parahnya hal tersebut terjadi secara beruntun yang membuat nabi SAW menginstruksikan para sahabatnya untuk bersama-sama melakukan qunut nazilah. Ada dua musibah di atas yang melatarbelakanginya, yakni musibah Bi’r Ma’unah dan yaum al-râji’.

Bi’r Ma’unah yang artinya sumur Ma’unah ini terjadi pada bulan Shafar tahun ke empat hijriah. Bermula ketika pemuka kabilah Bani ‘Amir, bernama Abu Barra’ bin Malik bekunjung menemui Nabi Muhammad SAW. Nabi mengajak Abu Barra’ untuk memeluk Islam, tapi Abu Barra’ belum berkenan. Sebagai gantinya, Abu Barra’ menawarkan kepada Nabi untuk mengirimkan para sahabatnya agar mau berdakwah di daerah Najd dan sekaligus menjamin keselamatan para delegasi.

Nabi SAW setuju dan langsung mengutus tujuh 70 orang sahabat terpilih yang diketuai oleh Mudzir bin ‘Amr dari Bani Sa’idah. Naas, saat di Bi’r Ma’unah yang berada tak jauh dari pemukiman kabilah Bani ‘Amir, rombongan para sahabat tiba-tiba diserang dan dibunuh oleh beberapa kabilah gabungan yang dipelopori oleh ‘Amir bin Thufail. ‘Amir bin Thufail memang dikenal sebagai musuh Islam. Di kesempatan tersebut, ia berhasil memanfaatkan peluang untuk membunuh para sahabat Nabi yang tengah bermukim sementara.

Walaupun menurut kisahnya, ‘Amir bin Thufail dapat dibunuh oleh Abu Barra’ yang telah menjamin keselamatan para sahabat Nabi yang dikirim, namun duka akan kehilangan para sahabat terpilih ini tak bisa dengan mudah hilang. Nabi dan kaum muslimin merasa amat berduka dan kehilangan atas terjadinya peristiwa tersebut.

Beberapa hari setelah musibah itu, umat Islam mengalami musibah lagi dengan kasus yang hampir sama. Musibah itu dikenal dengan yaum al-râji’. Beberapa orang dari ‘Adhal dan Qarah meminta kepada Nabi SAW untuk mendelegasikan para sahabatnya ke daerah mereka dengan tujuan mengajarkan bagaimana cara salat dan membaca Alquran pada mereka. Nabi SAW setuju dan langsung mengirimkan 6 dai pada mereka.

Ternyata permintaan itu hanyalah tipu muslihat belaka. Orang-orang ini punya niat jahat untuk menangkap para sahabat Nabi yang akan dikirim, untuk nantinya sahabat yang ditangkap akan ditukarkan dengan tawanan dari kabilah mereka yang ditahan suku Quraisy. Maka benar saja, ketika rombongan tiba di bukit Raji’, mereka sudah ditunggu oleh sekitar 300 pasukan Adhal dan Qarah. Pada akhirnya, 6 sahabat nabi yang dipilih itu tak bisa pulang ke Madinah dan wafat sebagai syuhada’.

Cobaan atau musibah beruntun yang menimpa kaum muslimin membuat Nabi Muhammad SAW sangat bersedih. Semenjak itu, selama sebulan penuh Nabi Muhammad SAW selalu menyisipkan qunut nazilah dalam tiap kali salat jamaah yang beliau pimpin. Beliau menambahkan doa ini di setiap rakaat terakhir dengan harapan agar kaum muslimin diberikan kesabaran, dan cobaan yang datang bertubi-tubi tersebut segera hilang.

Sejarah Lainnya: Hari Selasa, Sejarah Tragedi Pembunuhan Pertama Kali Di Bumi

Tujuan lainnya agar tidak ada lagi tragedi buruk yang menimpa kaum muslimin, dan tak ada lagi musibah yang mungkin akan membuat luka umat islam semakin dalam. Dan harapan agar orang-orang yang menghianati perjanjian dapat segera dikalahkan. Allah SWT akhirnya memenangkan kaum muslimin dalam perang Dzatu Riqa’. Perang melawan beberapa kabilah gabungan yang menyerang para sahabat Nabi di Bi’r Ma’unah.

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Alfiyan Dzulfikar
Alumni Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah dan Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA Jakarta.