Pojok PanturaPojok Pantura

KH. Abdul Karim: Tokoh Teladan dan Pensyiar Islam Randudongkal

 KH. Abdul Karim: Tokoh Teladan dan Pensyiar Islam Randudongkal | pernah hidup kyai yang bernama KH. Abdul Karim bin KH. Abdul Wahab. Beliau terkenal sebagai ulama’ yang mensyiarkan Islam di Randudongkal Pemalang | Pojok Pantura

Fatah Sukur (2011:3) Mengatakan sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, Negara, maupun individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak akan dapat diketahui. Melalui sejarah pulalah manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu umat, bangsa, negara dan sebagainya. Di antara pelajaran penting yang dapat dipetik dari sejarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari umat, bangsa dan negara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari.

Dalam lintas sejarah Indonesia, ulama menempati posisi penting dalam perlawanan terhadap penjajah, penyebaran agama Islam bahkan lebih jauh lagi, yakni pembinaan moral masyarakat. Seseorang disebut ulama apabila ia mempunyai wawasan ilmu keagamaan yang luas dan mengamalkannya dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Peran penting seorang ulama mempunyai andil yang cukup besar dalam perlawanan terhadap penjajah. Di samping sebagai konseptor strategi, para ulama juga menjadi pemimpin untuk menggerakkan masa. Abdul Aziz al-Badri (1987:9) berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan terwujud tanpa campur tangan ulama, khususnya ulama-ulama yang memimpin perlawanan terhadap penjajah di daerah-daerah. Pasca kemerdekaan Indonesia, ulama tidak lagi memmpin gerilya dengan memanggul senjata, tetapi mengisi kemerdekaan dengan membina moral masyarakat, mengembangkan pendidikan bagi umat Islam dan menjebatani atara umat Islam serta pemerintah.

Setiap lokalitas daerah pasti memiliki seorang tokoh yang berpengaruh, salah satunya di desa Randudongkal kecamatan Randudongkal kabupaten Pemalang, pernah hidup seorang kyai yang bernama KH. Abdul Karim bin KH. Abdul Wahab. Beliau terkenal sebagai salah satu ulama’ yang mensyiarkan agama Islam di Randudongkal. Dalam catatan keluarga, KH. Abdul Karim lahir di desa Pelutan kabupaten Pemalang pada tahun 1385 H/ 1869 M. Ayahnya bernama KH. Abdul Wahab keturunan dari Waliyullah mbah Sulaiman Karanganyar Tegal. Sedangkan Ibunya bernama Nyai Wifah/ Hj. Halimah. Ketika beliau berusia 12 tahun, Ibunya wafat. Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi dengan Nyai Basmah, yang waktu itu KH. Abdul Wahab menjabat sebagai naib/penghulu di daerah Pemalang selatan dan jabatan ini disandang sampai beliau wafat.

M. Dzakwan mencatat dalam buku Riwayat Hidup dan Silsilah Keturunan bahwa pendidikan KH. Abdul Karim dimulai dari belajar mengaji bersama ayahandanya sambil belajar di Sekolah Rakyat (sekarang menjadi Sekolah Dasar). Pada umur 14 tahun, untuk pertama kalinya belia mondok di KH. Murtadlo Pekalongan selama 5 tahun. Kemudian secara berurutan beliau mondok di KH. Ubaidah Giren Tegal 3 tahun, KH. Idris Jamsaren Solo 2 tahun, di Kranji Pekalongan 1 tahun dan terakhir di KH. Kholil Bangkalan Madura 1 tahun. KH. Abdul karim di samping belajar dan mengajar pada anak-anaknya, beliau juga seorang pedagang. Mbah karim, sapaan akrab beliau berdagang kain dan baju dengan menggunakan kuda sebagai alat untuk mengangkut barang dagangannya. Beliau juga mempunya sebuah pabrik batik kecil-kecilan dirumahnya.

Sekitar awal tahun 1900an, beliau pernah bermimpi, Dalam mimpinya beliau diberi rak (tempat buku) 3 susun. Kemudian mimpi tersebut diartikan bahwa tempat buku tingkat satu ditafsirkan sebagai pelaksanaan ibadah haji, tingkat kedua ditafsirkan sebagai pelaksanaan mencari nafkah dan tingkat ketiga atau paling atas ditafsirkan sebagai pelaksanaan berjuang mengembangkan agama Islam. Setelah bermusyawarah dengan istrinya, kemudian disepakati bahwa beliau akan mengembangkan dakwah Islam dengan mengajar dalam 1 tahun. Jika dalam 1 tahun itu beliau dan keluarga masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga, maka beliau akan tetap meneruskan perjuangannya mensyiarkan agama Islam di Randudongkal.. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, maka beliau akan berdagang kembali. Maklum kondisi saat itu masih memprihatinkan dan menderita bagi masyarakat Indonesia karena masih dijajah oleh Belanda.

Mulai sejak itulah beliau mengembangkan dan mensyiarkan agama Islam. Pada mulanya KH. Abdul Karim tidak berniat membuat Pondok Pesantren, tetapi lama kelamaan ada anak-anak yang ingin memperdalam Ilmu Agama secara intens kepada beliau. Kian hari jumlahnya bertambah banyak yang berasal dari Kecamatan Randudongkal, Moga, Bntarbolang, Belik dan Kecamatan Watukumpul. Bahkan ada santri yang datang dari kabupaten Tegal dan lain sebagainya. Dalam proses perjuangannya, KH. Abdul Karim dibantu oleh Habib Idrus Alhabsyi. Salah satu bentuk perjuangan mereka adalah mendirikan majelis-majelis Taklim di desa-desa dalam kecamatan Randudongkal.

Ada banyak sekali perilaku sehari-hari beliau yang seharusnya masyarakat secara umum teladani. Di antaranya tentang kebersihan. Beliau selalu menjaga kebersihan pakaian dan badan secara ketat. Betapapun beliau semasa hidupnya hanya mempunya tiga potong pakaian termasuk yang beliau pakai setiap hari. Jika lebih dari tiga makan beliau akan berikan salah satunya kepada orang yang membutuhkan. Dalam hal kesehatan pun beliau tidak kalah baiknya, untuk menjaga kesehatan tubuh. Beliau membuat ramuan jamu sendiri yang dikonsumsi bersama keluarga dan para tamu yang berkunjung. Ketika beliau sakit pun beliau meminum jamu dengan terlebih dulu berdo’a dengan washilah kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani. Terakhir, beliau mempunyai sifat berbelas kasih kepada sesama yang tinggi, terutama kepada fakir dan miskin. Hampir setiap hari beliau selalu menyediakan makanan yang banyak untuk dibagikan kepada orang-orang yang lewat dan singgah didepan mushola beliau yang berlokasi di pinggir jalan raya.

Baca Juga: Anjuran Rasulullah: Saat Berdoa Mintalah Keselamatan, Jangan Minta Musibah

KH. Abdul Karim wafat pada hari Sabtu 16 Dzulhijjah 1372 H atau 6 September 1952 M setelah tujuh hari menderita penyakit Wassir. Peninggalan beliau seperti Pondok Pesantren, mushola Baitul Karim dan majelis-mjelis taklim masih aktif dalam mensyiarkan agama Islam hingga sekarang. Bahkan peringatan Haul KH. Abdul Karim selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat.