Pergerakan zaman yang kian cepat ke arah modernitas membuat tradisi-tradisi yang sudah dibangun oleh leluhur, banyak yang tak dipelajari lagi dan malah ditinggalkan. Masyarakat sekarang agaknya lebih suka pada hal-hal berbau digital dan yang baru atau viral.
Padahal, Indonesia adalah salah satu bangsa yang memiliki banyak sekali tradisi dan ciri khas dalam segala bidang. Bahkan, dalam bidang kesenian musik, hampir setiap daerah mempunyai alat atau genre musik yang khas dan tentu layak diapresiasikan. Salah satu kesenian musik daerah yang layak dilestarikan ialah musik Bungbak.
Musik Bungbak sendiri adalah warisan leluhur berupa kesenian musik yang diciptakan di desa Pulosari, Pemalang. Agar tetap diingat dan dipelajari, suatu warisan tradisi (dalam hal ini kesenian musik) perlu untuk terus dipanggungkan, dipertunjukan dan dinikmati banyak orang.
Oleh karenanya, Musik Bungbak sering tampil di pertunjukan budaya atau hiburan. Mulai di desa-desa sampai dengan di kabupaten lain. Seperti yang dilakukan oleh grup music Bungbak asal Pulosari. Mereka tampil di “Pekan Seni Awal Tahun” yang diinsiasi oleh Komunitas Sastrawan Tegalan Gegap Gempita” pada Sabtu (29/1) kemarin.
Grup music Bungbak yang diprakarsai oleh Mbah Slamet tersebut tampil bersama beberapa grup musik modern dan tradisional lain yang ada di Tegal. Tercatat ada Group Band Domisol dari Pemalang, PAPPRI Brebes, Tegal, dan Slawi berkolaborasi dengan Bowoblues Antokustik, Daguyunior, Rock Klasik Akustik, Squirrel Band, dan musik tradisi dari Kota Tegal yang menyebut dirinya grup Balo-balo Mawar Merah.
Menurut Mbah Slamet, kata “Bungbak” berasal dari dua kata: “Bung” yang artinya “Tunas Bambu”. dan “Bak” secara harfiah arinya “Bunyi” yang berasal dari ketukan dan tepak telapak tangan. Jadi arti dari “Bungbak” maksudnya “Bunyi-bunyian yang berasal dari bambu muda”.
Ia menambahkan bahwa, dengan terus ditampilkannya musik Bungbak yang notabene peninggalan masa berabad silam itu, berarti membangkitkan kembali musik tradisi yang sudah terpendam untuk dipopulerkan ke khalayak ramai.
“Musik Bungbak ini sangat langka, jika warisan peradaban seni peninggalan nenek moyang Pemalang ini dibiarkan lenyap dari peredaran, sangatlah sia-sia. Oleh karena itu saat saya mendengar cerita dari para sesepuh Desa Pulosari, saya dan teman-teman bersepakan untuk menggali, mengembangkan, dan mempolerkan ke khalayak ramai. Musik Bungbak musti dibangkitkan agar menyeruak ke permukaan sebagai warisan budaya musik dari Desa Pulosari, Kabupaten Pemalang!” Jelasnya.
Jika diamati dan diresapi dengan baik, music dengan bermediakan rumpun bambu yang dipermak menjadi sebuah alat musik tradisional itu terkandung filosofi suara-suara yang terdengar penuh dengan kidung-kidung purba. Suara yang dihasilkan dari ketukan-ketukan bambu menciptakan alunan bernuansa religi dan mistis.
Diketahui, grup music Bungbak tersebut melantunkan tiga (3) kidung purba bertema “Kidung Kalasebo”, “Sluku-sluku Batok”, dan “Kidung Nguri-uri Pulosari” dengan vokalis Tindhy. Pelantunnya tersebut sukses membuat pengunjung terbuai dengan suara dan music yang dihasilkan oleh grup Bungbak Pulosari itu.
Salah satu syair musik Bungbak
Apresiasi dengan banyaknya tepuk tangan menandakan grup music Bungbak sukses mencuri perhatian dan dinilai bagus oleh pengunjung. Memang nuansa religi dan mistis tak bisa dipisahkan dalam setiap lantunan music Bungbak. Oleh karenanya para pengunjung menikmati syair-syair yang menyentuh jiwa yang dilantunkan. Salah satu syairnya yakni yang sebagaimana dilantunkan oleh Iwang Nirwana selaku Sekretaris dan Humas group musik Bungbak.
Baca Juga: Mahasiswa Tuntut Revisi Perwalkot Tentang Pengelolaan Rusunawa di Tegal
“Bungbak adalah nada/Bungbak adalah swara/nafas-nafas alam yang mengiringi raga/gema yang meredupkan kegelisahan-kegelisahan jiwa//Pada hati yang semakin gulana/gaung dzikir bambu yang mengalun dalam kidung-kidung sukma//Sambutlah tiap sabdanya menjadi cipta raga jiwa sukma/dalam palung tertinggi nirwana//Dengarkan, dengarkanlah semesta berkarya.”