Tak ada kabar paling mulia yang turun ke dunia kecuali berita adanya makhluk Allah bernama Muhammad. Bahkan sebelum diciptakan nabi Adam AS di surga, nama Muhammad sudah menjadi penentu nasib semua makhluk Allah. Cahaya Muhammad melintasi waktu dan zaman serta dinantikan alam semesta. Nama ‘Muhammad’ sesungguhnya disiapkan oleh Allah untuk makhluknya ‘yang paling terpuji. Sampai-sampai kelak, musuh-musuhnya pun kesulitan mencela pribadi bernama Muhammad.
Betapapun tercatat dalam sejarah, nabi Muhammad SAW dilahirkan dan diutus terakhir dari pada nabi yang lain, tapi penciptaan nur Muhammad itulah awal mula semua kehidupan di dunia. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Qatadah yang ditulis oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 2005, h. 116, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
كنتُ أوَّل النّبِيّين في الخلق وأخرهم في البعث
“Aku adalah nabi pertama yang diciptakan dan yang paling akhir diutus.”
(HR. Imam Ibnu Sa’d dan Imam al-Thabrani)
Mengingat penciptaannya berkah dari makhluk bernama Muhammad itu nabi Adam AS merasa perlu berwasiat kepada putra terbaiknya, yang juga berstatus sebagai nabi bernama Syits. Dalam sebuah riwayat dikatakan (Riwayat Imam Ibnu ‘Asakir):
“Ibnu Asakir menyampaikan sebuah riwayat dari Ka’b, bahwa sesungguhnya Adam memberi wasiat kepada anaknya, Syits. Adam berkata: “Setiap kali kau berdzikir kepada Allah, berdzikirlah juga untuk nama yang mendampingi-Nya, Muhammad. Karena sesungguhnya aku melihat nama Muhammad tertulis di sisi ‘Arsy, sementara aku (masih) di antara ruh dan tanah. Kemudian aku pindahkan pandanganku, aku tidak melihat satu tempat pun di langit kecuali aku melihat nama Muhammad tertulis di sana. Tidak kulihat di surga, gedung dan kamar kecuali nama Muhammad tertulis di sana. Sungguh aku melihat nama Muhammad tertulis di leher para bidadari, tertulis di dedaunan tumbuhan surga, tertulis di dedaunan pohon Thuba, tertulis di dedaunan Sidratul Muntaha, tertulis di sudut-sudut sekat dan tertulis di antara mata-mata malaikat. Maka, perbanyaklah dzikir menyebut namanya, karena malaikat juga berdzikir (menyebut nama)nya di setiap saat.” (Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hâwî li al-Fatâwî, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2015, juz 2, h. 137).
Sedangkan nama Ahmad, menurut Imam al-Suhaili, pernah disebut oleh Nabi Isa AS yang juga terekam dalam QS. As-Saff: 6: “dan memberi kabar gembira dengan kedatangan rasul setelahku bernama Ahmad.” Begitu pula dengan Nabi Musa, sebelum kelahiran nabi Muhammad, beliau malah berdoa kepada Allah agar jadi umatnya Ahmad/Muhammad. Nabi Musa berdoa:
اللهُمّ اجْعَلْنِي مِنْ أُمَّةِ أحْمَدَ، فبِأحْمد ذُكِر قَبْل أن يُذْكر بمحمد، لِأنّ حَمْدَه لربّه كان قبل حَمْد النّاس له، فلمّا وُجِد وبُعث كان محَمَّدًا بالفعلِ
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk umat Ahmad. Dengan nama Ahmad, ia disebut sebelum disebut Muhammad, karena pujiannya kepada Tuhannya sebelum pujian (seluruh) manusia kepadaNya. Maka, ketika ia berwujud dan diutus, ia menjadi Muhammad karena perilakunya.”
(Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili, al-Radul al-Unuf wa ma’ahu al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibni Hisyâm, 2008, juz 1, h. 310-311)
Nama Muhammad pun sesungguhnya bukan nama pemberian dari kakek atau ibunya. Melainkan dari Allah lewat peristiwa sakral yang di alami kedua orang tersebut. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ibu Rasulullah, Sayyidah Aminah, berkisah pernah dikunjungi malaikat saat sedang mengandung. Dalam pertemuan itu, berkatalah malaikat kepadanya:
إنَّكِ قَدْ حَمَلْتِ بِسَيِّدِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، فَإِذَا وَقَعَ إلَى الْأَرْضِ فَقُولِي: أُعِيذُهُ بِالْوَاحِدِ، مِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ، ثُمَّ سَمِّيهِ مُحَمَّدًا
“Sesungguhnya kau sedang mengandung pemimpin umat ini. Maka, ketika ia terlahir ke dunia, ucapkanlah: “aku memohon perlindungan untuknya kepada Tuhan yang Maha Esa, dari kejahatan setiap orang yang hasud, dan namai ia ‘Muhammad’.”
(Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Darul Kutub al-A’rabiy, 1990,juz 1, hlm 180)
Adapun kakeknya, Abdul Muttalib, ia mendapatkan inspirasi nama Muhammad dari sebuah mimpi. Dalam kitab al-Raudl al-Unuf, Imam al-Muhaddits Abu al-Qasim al-Suhaili (w. 581 H) mengatakan, Abdul Muttalib menyaksikan dalam mimpinya rantai dari emas keluar dari punggungnya. Ujungnya menjalar ke langit, bumi, timur dan barat. Kemudian rangkaian rantai itu menjadi pohon yang setiap daunnya mengeluarkan cahaya, dan penduduk bumi di Barat dan Timur semuanya bergantung kepadanya.
Imam al-Suhaili kemudian menafsiri mimpi dari Abdul Muthalib dengan menjelaskan bahwa “Maka ditafsirkan mimpi itu dengan dilahirkannya seorang (anak) dari tulang punggungnya yang akan diikuti oleh manusia dari Timur dan Barat. Penduduk langit dan bumi akan memujinya. Karena itu, Abdul Muttalib menamainya Muhammad.”
Baca Juga: Bertetangga Menurut Rasulullah SAW
Dalam kitab itu juga diterangkan, pasca mimpinya itu, Abdul Muthalib merasa mantap menamai cucunya dengan nama Muhammad. Diceritakan, saat ada seseorang yang bertanya kepada Abdul Muttalib, “mâ sammayta ibnaka?” (kau namai siapa cucumu?). Beliau menjawab, “Muhammad.” Orang itu bertanya lagi, “kaifa sammayta bi ismin laisa li ahadin min âbâ’ika wa qaumika?” (kenapa kau namai ia dengan nama yang tidak seorang pun dari nenek moyang dan kaummu [menggunakannya]). Abdul Muttalib meresponnya dengan mengatakan, “innî la arjû an yahmadahu ahlul ardli kulluhum” (sesungguhnya aku sangat ingin semua penduduk bumi memujinya).