Pojok PanturaPojok Pantura

Adab - Adab Dalam Berlalu Lintas

 Adab - Adab Dalam Berlalu Lintas | beberapa ulama menunjukkan perilaku mengemudi dan berjalan kaki dalam Islam. Salah satu ulama adalah Syaikh Abdul Azis Wadah Fathi as-Sayyid | Pojok Pantura

Setiap orang pastilah hidup berdampingan dengan orang lain. Di rumah menyatu dengan keluarga. Di sekolah bergaul dengan teman sekolah. Di kantor bekerjasama dengan teman sekantor. Di lingkungan masyarakat bersosialisasi dengan tetangga. Begitu juga di jalan raya, tiap pengguna jalan pasti bertemu dengan pengguna jalan yang lain, betapapun tak kenal satu sama lain. Semua lingkup sosial di atas menuntut kita sebagai manusia untuk senantiasa menaati aturan yang ada dan berakhlakul karimah.

Semua orang yang berada di lingkungan tersebut, atau selainnya tentu berkeinginan baik. Yang di lingkungan keluarga ingin harmonis, yang di sekolah dan di kantor ingin nyaman dalam belajar dan bekerja. Kemudian yang di masyarakat ingin guyub rukun dan tentu juga di jalan raya, semua pengguna jalan pasti menginginkan selamat agar sampai ke tempat yang dituju. Otomatis, jika kita tak patuhi aturan atau berperilaku buruk, pasti akan berdampak buruk kepada yang lain. Artinya keinginan orang-orang sebagaimana di atas akan terganggu atau bahkan tak terealisasi. Begitu juga sebaliknya, jika ada orang lain berbuat yang kurang terpuji, pastilah kita yang berada didekatnya pasti akan terkena imbasnya.

Oleh karenanya, patuhi aturan dan saling pengertian adalah kunci kemaslahatan/kebaikan bersama agar mudah mencapai keinginan bersama pula. Kita tak boleh lupa adab yang harus dilakukan sebagai manusia dan juga tak tutup mata akan aturan yang ada dimanapun, khususnya di jalan raya. Baik tertulis, atau tidak. Baik berupa himbauan maupun kewajiban. Apalagi aturan tersebut sudah secara resmi disahkan oleh pemerintah atau ulil amri.

Peraturan yang dibuat oleh ulil amri/pemerintah (dalam hal ini Polisi) sesungguhnya itu wajib dilaksanakan dengan baik. Sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Dalam ayat di atas tadi, kita sama-sama tahu bahwa salah satu perintah Allah kepada orang-orang mukmin (orang yang beriman kepadaNya) adalah patuhi ulil amri atau penguasa atau pemerintah. Dalam hal berlalu lintas dipercayakan kekuasaan ulil amri tersebut kepada Polisi, lebih khusus lagi kepada Polisi Lalu Lintas (Polantas). Artinya, bahwa produk-produk aturan yang disahkan oleh ulil amri dalam berlalu lintas harus dijalani oleh semua orang pengguna jalan. Karena ini juga berkaitan dengan kemaslahatan atau lebih jauh lagi, nyawa seseorang.

Kita sama-sama tahu, bahwa keselamatan jiwa seseorang seringkali terancam oleh perilaku berlalu lintas di jalan yang tidak tertib, tidak taat pada rambu-rambu yang ada. Sudah jamak pula kita dengar bahkan lihat bahwa cacat dan bahkan hilangnya nyawa manusia di jalan sebagai akibat dari kecerobohan berkendara sangat tinggi. Padahal, menjaga keselamatan jiwa, baik diri sendiri maupun jiwa orang lain, merupakan bagian penting dari ajaran Islam. Karenanya, para fuqaha mengklasifikasi lima hal pokok (al-kuliyyat al-khamsah) yang harus dijaga, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Artinya, ketidakberadaban berkendara menjadi awal terjadinya kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa manusia, baik terluka maupun meninggal dunia. Sungguh sangat besar ancaman bagi orang yang berbuat sesuatu yang dapat menyebabkan kerugian dirinya sendiri, merusak lingkungan, dan merusak jiwa orang lain (terlebih menghilangkan nyawa orang lain). Baik itu ancaman di dunia yakni penjara maupun di akhirat yaitu disiksa oleh Allah. Sesungguhnya Islam itu sendiri melarang segala perbuatan yang dapat merusak diri baik secara fisik maupun mental. Karena apa yang ada pada diri manusia pada dasarnya adalah karunia Allah yang wajib dijaga dan disyukuri.

Begitu juga Islam sangat keras melarang melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain, apalagi sampai meyebabkan kematian. Sebagaimana firman Allah SWT:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” (Qs Al-Maidah [5]: 32).
Baca Juga: https://www.pojokpantura.com/2021/03/5-adab-bercanda-dalam-islam.html

Di banyak kasus kecelakaan di Indonesia itu penyebabnya lalai dan sombong. Seperti mengiraukan rambu-rambu lalu lintas, parkir kendaraan yang tak sesuai aturan sehingga merugikan dan mencelakai orang laink, menerobos lampu merah, berkendara dengan kecepatan yang cenderung ugal-ugalan, tak mengecek kendaraan sebelum berkendara dan memodifikasi kendaraan yang tak sesuai aturan sehingga membuat orang bising dan terganggu serta kemudian memaksakan kondisi badan yang kurang fit untuk berkendara. Jama’ah shalat Jum’at yang dimuliakan Allah, perlu diketahui bahwa perilaku-perilaku tersebut sesungguhnya dibenci oleh Allah. Sebagaimana firmanNya yang berbunyi:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚوَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ ࣖ
“Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs Luqman [31]: 18-19).

Kesombongan dalam ayat tersebut dapat dipahami sebagai ketidakpedulian terhadap orang lain dalam hal memenuhi hak-hak dan keselamatan bersama. Adapun maksud kata waqshid pada ayat 19 (waqshid fi masyyika waqdhudh min shautika) itu secara harfiah berarti berhematlah, sehingga para mufasir menjelaskan berjalanlah yang biasa saja tidak sangat lambat dan tidak sangat cepat, jalanlah yang biasa itu cara berjalan yang beradab.

Berkaitan dengan lalu lintas, jenis egoism (kesombongan) yang disebutkan di atas menyiratkan bahwa individu yang melakukannya memiliki mentalitas egois. Dia juga menyiratkan bahwa dia tidak keberatan apakah dengan perilakunya dia menyakiti orang lain dan dirinya sendiri. Oleh karenanya dalam hal ini, setiap manusia harus saling mengingatkan, berkomitmen dan sekaligus kewajiban bersama, terutama apparat penegak hukum. Apalagi dengan padatnya arus lalu lintas yang tak terhindarkan, dan meningkatnya jumlah titik lemah dan kemacetan, maka sangat penting untuk memperkuat pola pikir penyelamatan untuk semua pengendara.

Memang aturan lalu lintas dalam Islam tidak secara langsung diarahkan, namun beberapa ulama menunjukkan perilaku mengemudi dan berjalan kaki dalam Islam. Salah satu ulama adalah Syaikh Abdul Azis Wadah Fathi as-Sayyid Nada yang secara mendalam memaknai tata krama berjalan dalam bukunya Mausuu'tul Aadaab al Islamiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, khususnya Ensiklopedia Adab Islam Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kebiasaan berjalan-jalan adalah sebagai berikut:

  1. Harapan/Rencana yang benar, atau paling tidak, seorang Muslim harus memiliki tujuan yang tepat ketika ia harus berjalan dengan nilai ibadah dan mengharap keridhaan Allah SWT. Tidak untuk pamer, tidak sombong dan sama sekali tidak ingin menyakiti individu di kota/daerah tujuan
  2. Usahakan untuk tidak berjalan-jalan untuk sesuatu yang haram, karena setiap gerak langkah kita terhadap sesuatu yang tabu akan menimbulkan pelanggaran.
  3. Bersikaplah sederhana dan tidak sombong saat berjalan-jalan dengan memperhatikan hak-hak pengemudi yang lain.
  4. Berjalan biasa, artinya berjalan dengan biasa, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lamban.
  5. Cobalah untuk tidak memikirkan kembali dengan kerangka waktu yang cukup signifikan. Karena mengingat kembali sambil berjalan bisa membuat seseorang terpeleset, terpeleset dan juga bisa dipikirkan oleh orang yang melihatnya.
  6. Berusahalah untuk tidak mengaku lemah atau lemah saat berjalan-jalan bertekad untuk dilihat orang lain karena dapat menyambut kemurkaan Allah SWT.
  7. Berjalan kokoh dan bermartabat seperti yang dicontohkan Nabi SAW. Ini sebenarnya bermaksud bahwa dengan asumsi Anda mengemudi tubuh Anda harus dalam kondisi fit. Tidak diplester atau dijatuh.
  8. Menjauhi langkah keji, khususnya berjalan dengan angkuh dan lancang, berjalan dengan gelisah dan gemetar, berjalan dengan malas seperti orang yang lemah, berjalan menirukan jenis kelamin lain, berjalan dengan terburu-buru dan terlalu cepat, dan berjalan seolah-olah memantul.
  9. Tidak berjalan dengan satu sepatu/alas kaki
  10. Bertelanjang kaki sesekali saat berjalan sebagai indikasi kerendahan hati di hadapan Allah SWT. Ini dengan syarat tidak ada najis dan sesuatu yang dapat melukai telapak kaki
Baca Juga: 7 Adab Makan Bersama Orang Lain Menurut Imam Ghazali
Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk

Gambar Produk